Sabtu, 05 November 2011

MATA AIR ILMU PARA ULAMA


MATA AIR ILMU PARA ULAMA
Ilmu bagaikan sumber mata air dalam kehidupan manusia, bagaikan lentera dalam kegelapan. Dengan ilmu kita bisa mengambil keputusan yang tepat. Sebenarnya ilmu sangat lah mudah didapat entah melalui belajar  ataupun melalui pengalaman hidup kita atau orang lain  yang bisa kita jadikan pelajaran. Ilmu bisa menjadikan kita berpikir jernih dalam menghadapi permasalahan yang timbul.
Hal itu pun yang juga dilakukan para ulama kita, karena kecintaan pada ilmu itulah mereka rela hidup sebagai ta’azzabar rajulu  (laki-laki yang tidak menikah). Mereka tidak pernah mengatakan bahwa membujang demi ilmu itu lebih mulia dari pada menikah, juga tidak pernah mengajak orang lain untuk mencontoh mereka memilih hidup membujang. Menikah memang disyariatkan dalam Islam, bahkan menikah menyempurnakan setengah dien. Tapi mereka mempunyai alasan lain untuk memilih jalan tersebut, memang jalan yang sangat sulit untuk ditempuh mengalahkan fitrah mereka sebagai manusia . Kecintaan pada ilmu membuat mereka menyatu seperti jasad dan ruh yang tak bisa terpisahkan.
Mereka melalui malam-malam mereka dengan kesibukan mencari ilmu. Mereka tidak disibukkan dengan urusan rumah tangga seperti ‘istadzar rajulu (lelaki yang menikah dan menjadi pemimpin rumah tangga) yang menyibukkan mereka dalam mencari ilmu. Memang ilmu bisa dicari tanpa memandang usia, namun lebih baik lagi ilmu dipelajari sejak kita masih kecil, seperti yang  diungkapkan Abu Ubaid dalam kitab Gharibul Hadist, III:369, “pelajarilah  ilmu selagi kalian masih kecil, sebelum kalian menjadi pemimpin yang dipandang, Jika kalian tidak mau belajar pada masa seperti itu, maka setelah dewasa kalian malu untuk belajar. Sehingga kalian pun teteap menjadi manusia bodoh dan akan belajar pada anak-anak kecil. Hal itu akan menghinakan kalian”
Maka dari itu sebelum menikah carilah ilmu yang sebanyak-banyaknya, sehingga kita tidak meninggalkan anak yang tanpa kita bekali dengan ilmu. Tanpa bekal ilmu mereka akan bodoh, apalagi jika hanya meninggalkan materi pada mereka .
Imam Bisyr bin Al-Hafi mengatakan “ilmu mulai menghilang dipaha-paha wanita” (kitab Al-Mashnu’ fi Ma’rifatil Hadist Al-Maudhu’_Imam Ali Al-Qari:120). Seperti kisah Imam Taqiyuddin As-Subki dalam kitab Tartibu Tsiqatil ‘Ijli tentang biografi ahli hadist Ma’mar bin Rasyid Al-Basyri yang mengembara ke negeri lain untuk menyebarkan dan mengumpulkan hadist, namun setelah sampai di Yaman penduduk menikahkannya dengan wanita Yaman, dan hidup disana sampai wafat dan tidak melakukan pengembaraan lagi.
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, II:21, pada awal kitab An-Nikah, Abu Hamid Al-Ghazali memaparkan tentang pilihan hidup membujang daripada menikah, menyebutkan sejumlah ayat, hadist dan Atsar yang berisi anjuran menikah, kemudian menjelaskan juga bahaya menikah, yaitu: Tidak mampu mencari harta yang halal untuk penghidupan, menelantarkan hak-hak istri, serta tidak bersabar menghadapi perangai istri yang buruk dan madharatnya, Istri dan anak2 menyibukkan dari mengingat Allah, serta mendorongnya untuk mengejar dunia dan memberikan penghidupan yang layak pada keluarganya.
Bebrapa para ulama memilih hidup membujang dengan alasan mereka sendiri dan karena kecintaannya pada ilmu. Beberapa ulama tersebut adalah
1.       Abdullah bin Abi Najih Al-Makki
2.       Yunus Bin Habib Al-Bashri
3.       Bisyr Al-Hafi (Abu Nashr Bisyr bin Harits bin Abdirrahman Al-Marwazi, al Baghdadi)
4.       Husain bin Ali Al-ju’fi
5.       Hannad bin As-Sari
6.       Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath Thabari
7.       Abu Bakar bin Al-Anbari
8.       Abu Ali-Al Farisi
9.       Abu Nashr As-Sijzi
10.   Abu Sa’d As Samman Ar-Razi
11.   Ibnul Khasysyab Al-Baghdadi
12.   Ibnul Manni
13.   Abul Hasan Al-Qifthi
14.   Imam Nawawi
15.   Ibnu Taimiyyah
16.   Basyir Al-Ghazzi Al-Halabi
17.   Abul Wafa’ Al-Ghafani
18.   Karimah Al-Marwaziyyah
Semoga Allah merahmati mereka semua dan ilmunya selalu bermanfaat bagi  kehidupan manusia seperti lentera dalam kehidupan manusia dan seperti mata air yang sejuk dalam kegersangan hidup.
Sumber : Syaikh Abdullah Fattah, Zam-Zam. Solo : 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar